Selangor – Dalam rangka memperkuat sektor pengadaan barang/jasa (PBJ) yang berkelanjutan, Indonesia bersama negara-negara ASEAN menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan ekosistem PBJ dengan standar baru yang diterapkan oleh Uni Eropa, seperti Ecological Design for Sustainable Products Regulation (ESPR) dan Sustainable Product Initiative (SPI). Di tengah upaya ini, Indonesia menekankan pentingnya harmonisasi antara standar global dan kebutuhan lokal.
Dalam diskusi panel yang digelar pada hari Senin (21/10) di Selangor, Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP Sarah Sadiqa memaparkan bagaimana kebijakan pengadaan barang/jasa di Indonesia terus berkembang dengan fokus pada efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan. Salah satu program unggulan yang telah dilaksanakan adalah memberikan prioritas pada Usaha Mikro Kecil dan Koperasi (UMKK) lokal dalam pengadaan publik. Kebijakan ini kini menjadi salah satu praktik terbaik yang diakui secara internasional.
Sarah menambahkan, meskipun Indonesia dan ASEAN telah memiliki sejumlah kebijakan yang mendukung pengadaan berkelanjutan, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal kesiapan UMKK untuk mematuhi standar baru tersebut. Ia menekankan bahwa meskipun kebijakan dan regulasi sudah ada, tantangan utama adalah bagaimana membuat UMKK percaya bahwa standar baru ini akan memberi manfaat jangka panjang, baik bagi mereka maupun bagi lingkungan.
"Kita perlu memperkenalkan dan meyakinkan UMKK bahwa standar berkelanjutan ini bukan hanya sekadar beban tambahan, tetapi merupakan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Namun, kita juga harus bijaksana dalam mempertimbangkan masalah lokal agar implementasi standar global bisa berjalan lancar," kata Sarah.
Menurut Sarah juga tantangan besar lainnya adalah cara menyesuaikan standar tersebut dengan kondisi lokal. "Kita harus mempertimbangkan kondisi lokal dan jangan sampai standar yang tinggi justru menciptakan kebingungan atau masalah baru. Regulasi yang sudah ada harus dihormati dan diintegrasikan dengan kebijakan baru," tambah Sarah.
Sarah menambahkan bahwa sejatinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, saat ini Indonesia sudah memiliki berbagai kebijakan dan regulasi untuk mendukung pengadaan berkelanjutan, seperti Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular dan Standar Industri Hijau yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Untuk itu, ia mengungkapkan pentingnya harmonisasi standar regional sebagai langkah awal untuk menghadapi tantangan global. Dengan adanya keseragaman standar di tingkat ASEAN, negara-negara anggota dapat lebih mudah beradaptasi dengan regulasi internasional, sambil mendukung industri lokal untuk tetap berkompetisi.
Hadir dalam kesempatan yang sama Siddharth Prakash dari Oko-Institute, menyampaikan pandangannya mengenai dampak ESPR dan SPI terhadap sektor tekstil dan Information Communications Technology (ICT). Ia menekankan bahwa EU adalah mitra dagang terbesar ketiga ASEAN, dengan hampir 40% impor ICT dan tekstil berasal dari kawasan ini. Oleh karena itu, standar baru ini akan memiliki dampak signifikan terhadap industri di ASEAN, termasuk Indonesia.
"Ada tantangan besar, tapi juga peluang besar. Negara-negara ASEAN yang bergerak cepat dalam mengadopsi standar berkelanjutan ini akan memiliki keunggulan kompetitif, terutama dalam hal transparansi dan desain produk yang ramah lingkungan. Jika UMKM didorong dengan pelatihan dan pendampingan, mereka bisa lebih kompetitif, bahkan di pasar internasional," jelas Siddarth.
Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara negara-negara ASEAN dan Uni Eropa dalam mewujudkan pengadaan berkelanjutan yang lebih inklusif dan ramah lingkungan. Indonesia, dengan segala kebijakannya, bersama dengan ASEAN, perlu terus berupaya menjembatani kesenjangan antara standar internasional dan kebutuhan lokal agar sektor pengadaan barang/jasa bisa berjalan dengan transparan, efisien, dan berkelanjutan. (riz)